![]() |
Pemandangan persawahan di Kebumen, jadi pengobat lelah. (Dok. Sulistya Pribadi) |
Gowes Soliter
Berpisah dengan para sahabat di resto khas yang menyajikan ayam ingkung di Imogiri, lusanya saya lanjut gowes sendiri menuju Jakarta. Berbekal peta GPX (peta digital) dan berangkat pukul 5.30 pagi, saya segera meluncur ke arah Bantul, menyusuri selatan melewati Purworejo dan Purwokerto. Dari sini, nanti baru mengarah ke utara menuju Tegal, Slawi sampai Cirebon, sebelum lanjut ke Jakarta, melalui Pantura.
Hari pertama berjalan baik. Bermalam di Gombong saat hampir Maghrib, saya mencari penginapan di sekitar pasar Gombong. Fasilitasnya cukup bagus. Kamar standar ber-AC dan ada TV pula.
Makan malam di restoran sate kambing pun enak sekali. Sedari siang tadi sambil gowes, saya memang sudah membayangkan mau makan berlauk sate dan sop kambing. Letak resto tepat berseberangan dengan RS PKU Muhammadiyah Gombong.
Esok hari lanjut gowes. Perlu diantisipasi melihat bentangan petanya akan melalui daerah pegunungan, sehingga rolling jalannya tidak bisa dihindari dan pasti akan menguras waktu dan tenaga. Target waktu pukul 15.00-an harus sudah mencari penginapan sebab pukul 15.30 ada zoom meeting yang mesti diikuti.
Berangkat dari Gombong, melewati Sumpiuh, banyak yang berjualan dawet ireng di pinggir jalan. Jalan terus mendaki melewati Wangon, menuju Ajibarang. Kondisi jalan dari beton, bukan aspal, saya merasakan lebih berat untuk menggowes.
Di satu saat sebelum zuhur rantai sepeda saya sempat putus. Untung ada bengkel motor terdekat yang bisa membantu untuk mengganti rantai.
Alhamdulillah, pada sore itu sesuai jam yang ditargetkan, saya sampai di penginapan Citra Residence di Bumiayu.
Hari ketiga, saya perhitungkan akan sampai Cirebon, melewati kota-kota, antara lain Slawi dan Tegal. Di Slawi seorang teman lama sudah Whatsapp dan juga telepon untuk ketemu di dekat tempat tinggalnya di Randualas, Slawi. Untung sekali pagi itu pukul 9.30-an kami bisa jumpa, setelah sekitar 3,5 jam gowes dari Bumiayu.
Melihat kecepatan tersebut saya dan kedua teman di Slawi perkirakan paling cepat akan sampai Cirebon pada pukul 15.00.
Perjalanan gowes pun berjalan baik. Medan sudah relatif rata, tidak rolling lagi. Kecepatan gowes diusahakan konsisten berkisar 20 km per jam. Maka pada pukul 15.00 sudah bisa masuk jalan Kanci di Cirebon.
![]() |
Sungai Oyo di Imogiri, DIY. Di daerah sini banyak ahli burung melatih burung elang, nuri, dan sebagainya. |
Sama seperti halnya kota besar, ternyata Cirebon macet juga di sore hari. Ada sekitar tiga puluh menit dan membuat perjalanan jadi terhambat. Dan juga jadi cukup menyita tenaga.
Syukurlah, di penghujung sore, hampir Maghrib, saya bisa mencapai Plumbon, di ujung barat Cirebon. Tapi penginapan yang dicari di sepanjang jalan tidak didapat juga.
Akhirnya ada Masjid Al Jabbar yang dibangun Pemprov Jabar yang membolehkan saya menginap di ruang lantai bawahnya. Lahan masjid ini berkisar 2,5 Ha. Dibangun era Gubernur Aher, sesuai penjelasan Pak Jumadi yang bertugas membersihkan masjid dan memiliki warung di pelataran halaman masjid tersebut.
Hari keempat, pukul 5.00 saya melihat cuaca masih gelap. Saya pasang lampu belakang sepeda untuk menandai dari kendaraan di Pantura yang sudah cukup ramai dan banyak pula yang ngebut. Di Google maps, jarak menunjukkan 235 km untuk sampai Jakarta. Lumayan juga.
Berusaha konsisten mengayuh sepeda, saya mencapai kota Indramayu sekitar pukul 9.00. Konstruksi jalan dari beton lagi, bukan aspal. Seru! Terik matahari tampaknya tidak bisa diajak kompromi. Panas menyengat pagi itu sangat terasa sekalipun saya sudah lebih banyak memakai sun screen untuk lebih menyejukkan kulit dan juga banyak minum air putih. Pemandangan masih bagus meski lebih banyak dijumpai tambak atau sawah-sawah yang belum ditanami.
Sekitar pukul 11.00, sekitar lima jam saya gowes dari Plumbon, Cirebon, di daerah Patrol, Indramayu, saya putuskan untuk berhenti bersepeda, meski belum sampai Jakarta. Maklum akan kondisi tubuh dan terik matahari yang sangat menyengat. Belum terasa memang gejala-gejala yang mengkhawatirkan seperti rasa pening, keram, dan sebagainya. Tapi saya mengukur diri untuk berhenti. Sudah berjanji kepada orang-orang rumah dan para sahabat yang tahu saya sedang gowes sendiri, untuk tidak memaksakan diri. Prinsip gowes adalah untuk enjoy dan kesehatan. Jika sudah tidak begitu, tidak usah diteruskan. Terlalu beresiko.
Maka, sambil beristirahat di pertigaan Patrol menikmati makanan ketoprak, saya mengobrol dan tanya-tanya, kendaraan bis yang bisa saya tumpangi untuk mencapai Jakarta. kesimpulannya, saya bisa menggunakan bis “Karawang Indah” pada pukul 11.30 untuk mencapai Cikarang, atau bis antar kota yang lain ke Cileungsi.
Saya pilih yang ke Cileungsi dengan harapan dari situ saya bisa koneksi lagi ke arah terminal Kampung Rambutan.
Ternyata pilihan ini relatif lebih tepat. Pukul 14.00 saya sampai di Kampung Rambutan dan gowes lagi ke arah Jakarta Pusat sekitar satu jam, untuk mencapai tempat tinggal.
Home sweet home...
Alhamdulillah, jarak sekitar 430 km, ditempuh gowes soliter dalam waktu tiga setengah hari.
Banyak sekali orang baik yang membantu selama perjalanan. Mereka orang yang tanpa pamrih membantu, tetapi terkadang saya yang suudzon. Banyak sekali sahabat yang memonitor perjalanan yang tahu saya ber-solo gowes dari Jogja ke Jakarta, dengan segala nasehat-nasehatnya secara japri maupun di Grup untuk kebaikan dan keselamatan saya. Sahabat goweser Al Mukhlisun, Griya Depok Asri, dan seterusnya. (*)
Naskah: Sulistya Pribadi